Tujuan :
- Memperoleh data dasar tentang otot, tulang dan persendian
- Mengetahui adanya mobilitas, kekuatan atau adanya gangguan pada bagian bagian tertentu
Persiapan alat :
- Meteran
Prosedur pelaksanaan :
A. Otot
1. Inspeksi ukuran otot, bandingkan satu sisi dengan sisi yang lain dan amati adanya atrofi atau hipertrofi
2. Jika didapatkan adanya perbedaan antara kedua sisi, ukur keduanya dengan menggunakan meteran
3. Amati adanya otot dan tendo untuk mengetahui kemungkinan kontraktur yang ditunjukkan oleh malposisi suatu bagian tubuh
4. Lakukan palpasi pada saat otot istirahat dan pada saat otot bergerak secara aktif dan pasif untuk mengetahui adanya kelemahan (flasiditas), kontraksi tiba-tiba secara involunter (spastisitas)
5. Uji kekuatan otot dengan cara menyuruh klien menarik atau mendorong tangan pemeriksa, bandingkan kekuatan otot ekstremitas kanan dengan ekstremitas kiri.
6. Amati kekuatan suatu bagian tubuh dengan cara memberi penahanan secara resisten
B. Tulang
1. Amati kenormalan susunan tulang dan adanya deformitas
2. Palpasi untuk mengetahui adanya edema atau nyeri tekan
3. Amati keadaan tulang untuk mengetahui adanya pembengkakan
C. Persendian
1. nspeksi persendian untuk mengetahui adanya kelainan persendian
2. Palpasi persendian untuk mengetahui adanya nyeri tekan, gerakan, bengkak, nodul, dan lain-lain
3. kaji tentang gerak persendian
4. Catat hasil pemeriksaan


PENGKAJIAN FISIK

1. Mengkaji Skelet Tubuh
Skelet tubuh dikaji mengenai adanya deformitas dan kesejajaran. Pemendekan ekstreminitas, amputasi, dan bagian tubuh yang tidak dalam kesejajaran anatomis harus dicatat. Angulasi abnormal pada tulang panjang atau gerakan pada titik selain sendi. Biasanya menunjukkan adanya patah tulang. Bisa teraba krepitus (suara berderik) pada titik gerakan abnormal.

2. Mengkaji Tulang Belakang
Kurvatura normal tulang belakang biasanya konveks pada bagian dada, dan konkaf sepanjang leher dan pinggang. Deformitas tulang belakang yang sering terjadi yang perlu diperhatikan meliputi :
a. skoliosis (deviasi kulvatura lateral tulang belakang)
b. kifosis (kenaikan kulvatura tulang belakang bagian dada)
c. Lordosis (membebek, kulvatura tulang belakang bagian pinggang yang berlebihan.
Pada saat inspeksi tulang belakang, buka baju pasien untuk menampakkan seluruh punggung, bokong dan tungkai. Pemeriksa memeriksa kulvatura tulang belakang dan simetri batang tubuh dari pandangan anterior posterior dan lateral. Berdiri dibelakang pasien, pemeriksa dapat memperhatikan setiap perbedaan tinggi bahu dan krista iliaka.
Lipatan bokong normalnya simetris, simetris bahu dan pinggul, begitu pula kelurusan tulang belakang, diperiksa dengan pasien berdiri tegak dan membungkuk ke depan.
Skoliosis ditandai dengan kulvatura lateral abnormal tulang belakang, bahu yang tidak sama tinggi, garis pinggang yang tidak simetris, dan skapula yang menonjol, akan lebih jelas dengan uji membungkuk ke depan. Selain itu, lansia akan mengalami kehilangan tinggi badan akibat hilangnya tulang rawan tulang belakang.
3. Mengkaji Sistem Persendian
Sistem persendian dievaluasi dengan memeriksa luas gerakan, deformitas, stabilitas, dan adanya benjolan. Luas gerakan yang terbatas bias disebabkan karena deformiatas skeletal, patologis sendi, atau kontraktur otot dan tendon disekitarnya. Pada lansia, keterbatasan gerakan yang berhubungan denga patologi sendi degenerative dapat menurunkan kemampuan meraka melakukan aktivitas hidup sehari hari. Jika gerkan sendi mengalami gangguan atau sendi terasa nyeri, maka harus diperiksa adanya kelabihan cairan dalam kapsulnya (efusi), pembengkakan, dan peningkatan suhu yang mencerminkan adanya inflamsi aktif
Deformitas sendi bisa disebabkan kontraktur (pemendekan struktur sekitar sendi) dislokasi (lepasnya permukaan sendi), subluksasi (lepasnya sebagian permukaan sendi), atau disrupsi struktur sekitar sendi.
Palpasi sendi sementara sendi digerakkan secara pasif akan memberiikan informasi mengenai integritas sendi. Normalnya, sendi bergerak secara halus. Suara gemletuk dapat menunjukkan adanya ligament yang tergelincir di antara tonjolan tulang. Permukaan yang kurang rata, seprti pada keadaan arthritis, mengakibatkan adanya krepitus karena permukaan yang tidak rata tersebut yang saling bergeseran satu sama lain.
Jaringan sekitar sendi diperiksa adanya benjolan. Rheumatoid arthritis, gout, dan osteoarthritis menimbulkan benjolan yang khas. Benjolan dibawah kulit pada rheumatoid arthritis lunak dan terdapat di dalam dan sepanjang tendon yang memberikan fungsi ekstensi pada sendi biasanya, keterlibatan sendi mempunya pola yang simetris. Benjolan pada GOUT keras dan terletak dalam dan tepat disebelah kapsul sendi itu sendiri. Kadang mengalami rupture, mengeluarkan Kristal asam urat putih kepermukaan kulit. Benjolan osteoatritis keras dab tidak nyeri dan merupakan pertumbuhan tulang baru akibat destruksi permukaan kartilago dan tulang di dalam kapsul sendi (biasanya ditemukan pada lansia).


4. Mengkaji Sistem Otot
Sistem oto dikaji dnegan memperhatikan kemampuan mengubah posisi, kekuatan oto dan koordinasi, dan ukuran masing –masing otot. Kelemahan otot sekelompok otot menunjukkan berbagai macam kondisi seperti polyneuropati, gangguan elektrolit (khususnya kalsium & kalium), miastenia grafis, polio mielitis dandistrupsi otot. Dengan melakukan palpasi otot saat ekstrimitas rileks digerakkan secara pasif, perawat dapat merasakan tonus otot. Kekeuatan dapat diperkirakan dengan menyuruh pasien menggerakkan beberapa tugas dengan atau tanpa tahanan.
Lingkar ekstreminitas harus diukur untuk memantau pertambahan ukuran akibat adanya edema atau perdarahan ke dalam otot; juga dapat dipegunakan untuk mendeteksi pengurangan ukuran akibat atrofi.

5. Pengkaji Cara Berjalan
Cara berjalan dikaji dengan meminta pasien berjalan dari tempat pemeriksa sampai bebrapa jauh. Pemeriksa memerhatikan cara berjalan mengenai kehalusan dan irama. Setiap adanya gerakan yang tidak teratur dan ireguler dianggap tak normal.

6. Mengkaji Kulit Dan Sirkulasi Perifer
Sebagai tambahan pengkajian sistem moskuloskeletal, perawat harus melaksanakan inspeksi kulit dan melakukan pengkajian sirkulasi perifer. Palpasi kulit dapat menunjukkan adanya perbedaan suhu dan adanya edema. Sirkulasi perifer dievaluasi dengan mengkaji denyut perifer, warna, suhu, dan waktu pengisian kapiler. Adanya luka, memar perubahan warna kulit dan tanda penurunan sirkulasi perifer atau infeksi dapat mempengaruhi penatalaksanaan keperawatan.


EVALUASI DIAGNOSTIK

A. Pemeriksaan Khusus

1. Sinar-X penting untuk mengevaluasi pasien dengan kelainan musculoskeletal. Sinar-X tulang menggambarkan kepadatan tulang, tekstur erosi dan perubahan hubungan tulang. Sinar-X multiple diperlukan untuk pengkajian paripurna struktur yang sedang diperiksa. Sinar-X korteks tulang menunjukkan adanya pelebaran, penyempitan, dan tanda iregularitas. Sinar-X dapat menunjukkan adanya cairan, iregularitas, spur, penyempitan, dan perubahan struktur sendi.
2. Computed Termography (CT scan) menunjukkan rincian bidang tertentu tulang yang terkena dan dapat memperlihatkan tumor jaringan lunak atau cidera ligamen atau tendon.
3. Magnetic resonance imaging (MRI) adalah teknik pencitraan khusus, noninvasif yang menggunakan medan magnet gelombang radio, dan komputer untuk memperhatikan abnormalitas jaringan lunak seperti otot, tendon, dan tulang rawan.
4. Angiografi adalah pemeriksaan struktur vaskuler.
5. Arteriografi adalah pemeriksaan sistem arteri.
6. Digital substraction angiography (DSA) mempergunakan teknologi komputer untuk memperlihatkan sistem arterial melalui kateter vena.
7. Venogram adalah pemeriksaan sistem vena yang sering digunakan untuk mendeteksi thrombosis vena.
8. Mielografi adalah penyuntikan bahan kontras kedalam rongga subarachnoid spinalis lumbal, dilakukan untuk melihat adanya herniasi diskus, stenosis spinal atau temnpat adanya tumor,
9. Diskografi adalah pemeriksaan diskus vertebralis; suatu bahan kontras diinjeksikan kedalam diskus dan dilihat distribusinya.
10. Atrografi adalah penyuntikan bahan radiopaque atau udara kedalam rongga sendi untuk melihat struktur jaringan lunak atau kontur sendi.


B. Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan darah dan urine pasien dapat memberikan informasi mengenai masalah musculoskeletal primer, atau komplikasi yang terjadi sebagai dasar acuan pemberi terapi. Pemeriksaan darah lengkap meliputi kadar hemoglobin (biasanya lebih rendah apabila terjadi perdarahan karena trauma), dan hitung darah putih. Sebelum dilakukan pembedahan, periksa bekuan darah untuk mendeteksi kecenderungan pendarahan. Karena tulang merupakan jaringan yang sangat vaskuler.
Pemeriksaan kimia darah memberikan data mengenai berbagai macam kondisi muskuloskeletal, kadar kalsium serum berubahpada osteomalasiya fungsi paratiroit, penyakit paget, tumor tulang metastasis, dan pada imobilisasi lama. Kadar fosfor serum berbanding terbalik dengan kadar kalsium dan menurun pada rikets yang berhubungan dengan sindrom malapsorpsi. Fosfatase asam meningkat pada penyakit paget dan kangker metastasis.fosfatase alkali meningkat selama penyembuhan patah tulang dan pada penyakit pada peningkatan aktifitas osteoblas.
Metabolisme tulang dapat dievaluasi melalui pemeriksaan tiroid dan penentuan kadar kalsitosin, gormon paratiroid, dan vitamin D. kadar enzim serum keratin kinase (CK) dan serum glumatic-oxaloacetic transeminase (SGOT, aspartae aminotransferase) meningkat pada kerusakan otot. Aldolase meningkat pada penyakit otot (mis. distrofi otot dan nekrosis oto skelet). Kadar kalsium urine meningkat pada destruksi tulang (disfungsi paratiroid, tumor tulang metastasis, myeloma multiple).

REFERENSI
Brunner & Suddarth. (2002). Keperawatan Medikal Bedah. (Edisi VIII). Jakarta: EGC.
Price, Sylvia Anderson. (2006). Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit.
(Edisi VI). Jakarta: EGC.
Diposting oleh Mas Shidiq Widiyanto
Sabtu, 16 Januari 2010 di Kendari 17.00 | 2 komentar  

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Definisi Infark Miokard Akut

Infark Miokard Akut adalah penyakit jantung yang disebabkan oleh karena sumbatan arteri koroner (Hudak & Gallo; 1997). Sumbatan akut terjadi oleh karena adanya ateroksklerotik pada dinding arteri koroner, sehingga menyumbat aliran darah ke jaringan oto jantung.

Aterosklerotik adalah suatu penyakit pada arteri-arteri besar dan sedang dimana lesi lemak yang disebut Plak Ateromatosa timbul pada permukaan dalam dinding arteri. Sehingga mempersempit bahkan menyumbat suplai aliran darah ke arteri bagiuan distal (Hudak & Gallo; 1997)



2.2 Etiologi Infark Miokard Akut

Infark miokard akut disebabkan oleh karena atherosclerosis atau penyumbatan total atau sebagian oleh emboli dan atau thrombus

Faktor resiko yang menjadi pencetus terjadinya Infark Miokard akut adalah :

1. Faktor resiko yang dapat diubah

a) Mayor merokok, hipertensi, obesitas, hiperlipidemia, hiperkolesterolimia dan pola makan (diit tinggi lemak dan tingi kalori).

b) Minor stress, kepribadian tipe A (emosional, agresif, dan ambivalen) daninaktifitas fisik.

2. Faktor resiko yang tidak dapat diubah

a) Hereditas/keturunan

b) Usia lebih dari 40 tahun

c) Ras, insiden lebih tinggi orang berkulit hitam. Sex, pria lebih sering daripada wanita.



2.3 Patofisiologi Infark Miokard Akut

Proses terjadinya infark

Thrombus menyumbat aliran darah arteri koroner, sehingga suplai nutrisi dan O2 ke bagian distal terhambat., sel oto jantung bagian distal mengalami hipoksia iskhemik infark, kemudian serat oto menggunakan sisa akhir oksigen dalam darah, hemoglobin menjadi teroduksi secara total dan menjadi berwarna birui gelap, dinding arteri menjadi permeable, terjadilah edmatosa sel, sehingga sel mati.

Mekanisme nyeri pada AMI

Hipoksia yang terjadi pada jaringan oto jantung memaksa sel untuk melakukan metabolisme CO2 (metabolisme anaerob), sehingga menghasilkan asam laktat dan juga merangsang pengeluaran zat-zatiritatif lainnya seperti histamine, kinin, atau enzim proteolitik sleuler merangsang ujung-ujung syaraf reseptor nyeri di otot jantung, impuls nyeri dihantarkan melalui serat sraf aferen simpatis, kemudian dihantarkan ke thalamus, korteks serebri, serat saraf aferen, dan dipersepsikan nyeri.

Perangsangan syaraf simpatis yang berlebihan akan menyebabkan :

1. Meningkatkan kerja jantung dengan menstamulasi SA Node sehingga menghasilkan frekuensi denyut jantunglebih dari normal (takikardi).

2. Merangsang kelenjar keringat sehingga ekresi keringat berlebihan.

3. Menekan kerja parasimpatis, sehingga gerakan peristaltik menurun, akumulai cairan di saluran pencernaan, rasa penuh di lambung, sehingga merangsangf rasa mual / muntah.

4. Vasokonstriksi pembuluh darah ferifer, sehinga alir balik darah vena ke atrium kanan meningkat, dan akhirnya yekanan darah meningkat.


2.4 Tanda dan Gejala Infark Miokard Akut

Tanda dan gejala yang timbul pada Infark Mioma akut adalah sebagai berikut.

  1. Nyeri hebat pada dada kiri menyebar ke bahu kiri, leher kiri dan lengan atas kiri, kebanyakan lamanya 30 menit sampai beberapa jam, sifatnya seperti ditusuk-tusuk, ditekan, tertindik.
  2. Takhikardi
  3. Keringat banyak sekali
  4. Kadang mual bahkan muntah diakibatkan karena nyeri hebat dan reflek vasosegal yang disalurkan dari area kerusakan miokard ke trakus gastro intestinal
  5. Dispnea
  6. Abnormal Pada pemeriksaan EKG (pelajari buku tentang EKG).

2.5 Pengobatan Infark Miokard Akut

  1. Vasodilatator

Vasodilatator pilihan untuk mengurangi rasa nyeri jantung adalah nitroglycerin, baik secara intra vena maupun sublingual, efek sampingnya yaitu dapat mengurangi preload, beban kerja jantung dan after load.

  1. Antikoagulan

Heparin adalah anti koagulan pilihan utama, heparin bekerja memperpanjang waktu pembekuan darah, sehingga mencegah thrombus

  1. Trombolitik

Untuk melarutkan thrombus yang telah terbentuk di arteri koroner, memperkecil penyumbatan dan meluasnya infark, teombolitik yang biasa digunakan adalah streptokinase, aktifasi plasminogen jaringan (5-14) dan amistropletase

  1. Analgetik

Pemberian dibatasi hanya untukk pasien yang tidak efektif dengan pemberian nitrat dan antiloagulan, analgetik pilihan adalah morvin sulfat secara IV

2.6 Fokus Intervensi Keperawatan Infark Miokard Akut

  1. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan ekspansi paru.

Setelah dilakukan intervensi diharapkan pola nafas dapat efektif.

Kriteria hasil :

- Dispnea (-), takikardi (-), gelisah (-)

- Sesak nafas hilang

- RR = 18-24 x/menit

- N= 80-100 x/menit

a) Tinggikan kepala semi fowler

b) Berikan O2 tambahan sesuai advis

c) Pasang monitor TD, RR, dan N

d) Catat frekuensi pernafasan

e) Auskultasi bunyi nafas, catat area yang menurun

f) Observasi penyimpangan dada

g) Tekankan menahan dada dengan bantal selama nafas dalam/batuk batuk

  1. Nyeri akut berhubungan dengan iskemia miokard.

Setelah dilakukan intervensi diharapkan klien dapatmengontrol nyeri

Criteria hasil :

- Tampak rileks

- Skala nyeri berkurang

- Klien dapat istirahat

- TD = 110/80 mmHg – 130/90 mmHg

- Hasil EKG normal

- N= 80-100 x/menit

a) Berikan anti angina vasodilatator (nitrogliserin) penyebar adrenergic, antikoagulan, trombolitik, analgetik

b) Istirahatkan klien

c) Berikan O2 tambahan

d) Pantau hasil EKG ulang

e) Pantau dan observasi respon verbal dan non verbal terhadap nyeri.

  1. Penurunan COP berhubungan dengan perubahan frekuensi, irama, konduksi elektrikal.

Setelah dilakukan intervensi diharapkan curah jantung adekuat.

Criteria hasil:

- Status hemodinamik

- Tidak ada sianosis

- Akral hangat


Diposting oleh Mas Shidiq Widiyanto

Tugas : Makalah
MK :
KMB I

Dosen : Drs ....................................

LAPORAN ASUHAN KEPEREAWATAN DENGAN KASUS TBC


O L E H

SHIDIQ WIDIYANTO

NIM : P0032008139

DEPARTEMEN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

POLITEKNIK KESEHATAN KENDARI

JURUSAN KEPERAWATAN

2010



BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Konsep Dasar

2.1.1 Definisi

Tuberculosis (TB) adalah penyakit infeksius, yang terutama menyerang parenkim paru (Smeltzer, 2001).

Tuberkulosis (TB) paru adalah penyakit menular yang disebabkan oleh basil Mycobacterium tuberculosis (Alsagaff, 2005 : 73).

Tuberkulosis (TB) paru adalah penyakit infeksi yang menyerang parenkim paru yang disebabkan oleh Mycobacterium Tuberculosis (Somantri, 2008 : 59).

2.1.2 Etiologi

Tuberculosis disebabkan oleh kuman Mycobacterium Tuberculosis. Kuman ini berbentuk batang mempunyai sifat tahan asam pada perwarnaan. Oleh karena itu, disebut sebagai basil tahan asam (Somantri, 2008 : 59).

2.1.3 Patofisiologi

Pada waktu batuk atau bersin, penderita menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk droplet (percikan dahak). Droplet yang mengandung Mycobakterium tuberkulosis dapat menetap dalam udara bebas selama 1-2 jam. Orang dapat terifeksi kalau droplet tersebut terhirup ke dalam saluran pernapasan. Setelah Mycobacterium tuberkulosis masuk ke dalam saluran pernapasan, masuk ke alveoli, tempat dimana mereka berkumpul dan mulai memperbanyak diri. Basil juga secara sistemik melalui sistem limfe dan aliran darah ke bagian tubuh lainnya (ginjal, tulang, korteks serebri), dan area paru-paru lainnya (lobus atas).

Sistem imun tubuh berespons dengan melakukan reaksi inflamasi. Fagosit (neutrofil dan makrofag) menelan banyak bakteri; limfosit melisis (menghancurkan) basil dan jaringan normal. Reaksi jaringan ini mengakibatkan penumpukan eksudat dalam alveoli, menyebabkan bronkopneumonia. lnfeksi awal biasanya terjadi 2 sampai 10 minggu setelah pemajanan.

Massa jaringan baru, yang disebut granulomas, yang merupakan gumpalan basil yang masih hidup dan yang sudah mati, dikelilingi oleh makrofag yang membentuk dinding protektif. Granulomas diubah menjadi massa jaringan fibrosa. Bagian sentral dari massa fibrosa ini disebut tuberkel Ghon. Bahan (bakteri dan makrofag) menjadi nekrotik, membentuk massa seperti keju. Massa ini dapat mengalami kalsifikasi, membentuk skar kolagenosa. Bakteri menjadi dorman, tanpa perkembangan penyakit aktif.

Setelah pemajanan dan infeksi awal, individu dapat mengalami penyakit aktif karena gangguan atau respons yang inadekuat dari respons sistem imun. Penyakit aktif dapat juga terjadi dengan infeksi ulang dan aktivasi bakteri dorman. Dalam kasus ini, tuberkel Ghon memecah, melepaskan bahan seperti keju ke dalam bronki. Bakteri kemudian menjadi tersebar di udara, mengakibatkan penyebaran penyakit lebih jauh. Tuberkel yang memecah menyembuh, membentuk jaringan parut. Paru yang terinfeksi menjadi lebih membengkak, mengakibatkan terjadinya bronkopneumonia lebih lanjut, pembentukan tuberkel dan selanjutnya.

Kecuali proses tersebut dapat dihentikan, penyebarannya dengan lambat mengarah ke bawah ke hilum paru-paru dan kemudian meluas ke lobus yang berdekatan. Proses mungkin berkepanjangan dan ditandai oleh remisi lama ketika penyakit dihentikan, hanya supaya diikuti dengan periode aktivitas yang diperbaharui. Hanya sekitar 10% individu yang awalnya terinfeksi mengalami penyakit aktif (Brunner dan Suddarth, 2002)


2.1.4 Manifestasi Klinis

Menurut Jhon Crofton (2002) gejala klinis yang timbul pada pasien Tuberculosis berdasarkan adanya keluhan penderita adalah :

2.1.4.1 Batuk lebih dari 3 minggu

Batuk adalah reflek paru untuk mengeluarkan sekret dan hasil proses destruksi paru. Mengingat Tuberculosis Paru adalah penyakit menahun, keluhan ini dirasakan dengan kecenderungan progresif walau agak lambat. Batuk pada Tuberculosis paru dapat kering pada permulaan penyakit, karena sekret masih sedikit, tapi kemudian menjadi produktif.

2.1.4.2 Dahak (sputum)

Dahak awalnya bersifat mukoid dan keluar dalam jumlah sedikit, kemudian berubah menjadi mukopurulen atau kuning, sampai purulen (kuning hijau) dan menjadi kental bila sudah terjadi pengejuan.

2.1.4.3 Batuk Darah

Batuk darah yang terdapat dalam sputum dapat berupa titik darah sampai berupa sejumlah besar darah yang keluar pada waktu batuk. Penyebabnya adalah akibat peradangan pada pembuluh darah paru dan bronchus sehingga pecahnya pembuluh darah. 2.1.4.4 Sesak Napas

Sesak napas berkaitan dengan penyakit yang luas di dalam paru. Merupakan proses lanjut akibat retraksi dan obstruksi saluran pernapasan.

2.1.4.5 Nyeri dada

Rasa nyeri dada pada waktu mengambil napas dimana terjadi gesekan pada dinding pleura dan paru. Rasa nyeri berkaitan dengan pleuritis dan tegangan otot pada saat batuk.

2.1.4.6 Wheezing

Wheezing terjadi karena penyempitan lumen bronkus yang disebabkan oleh sekret, peradangan jaringan granulasi dan ulserasi.

2.1.4.7 Demam dan Menggigil

Peningkatan suhu tubuh pada saat malam, terjadi sebagai suatu reaksi umum dari proses infeksi.

2.1.4.8 Penurunan Berat Badan

Penurunan berat badan merupakan manisfestasi toksemia yang timbul belakangan dan lebih sering dikeluhkan bila proses progresif.

2.1.4.9 Rasa lelah dan lemah

Gejala ini disebabkan oleh kurang tidur akibat batuk.

2.1.4.10 Berkeringat Banyak Terutama Malam Hari

Keringat malam bukanlah gejala yang patogenesis untuk penyakit Tuberculosis paru. Keringat malam umumnya baru timbul bila proses telah lanjut.

2.1.5 Komplikasi

Menurut Depkes RI (2002), merupakan komplikasi yang dapat terjadi pada penderita tuberculosis paru stadium lanjut yaitu :

2.1.5.1 Hemoptisis berat (perdarahan dari saluran napas bawah) yang dapat mengakibatkan kematian karena syok hipovolemik atau karena tersumbatnya jalan napas.

2.1.5.2 Atelektasis (paru mengembang kurang sempurna) atau kolaps dari lobus akibat retraksi bronchial.

2 1.5.3 Bronkiektasis (pelebaran broncus setempat) dan fibrosis (pembentukan jaringan ikat pada proses pemulihan atau reaktif) pada paru.

2.1.5.4 Penyebaran infeksi ke organ lain seperti otak, tulang, persendian, dan ginjal.

2.1.6 Pemeriksaan penunjang

2.1.6.1 Pemeriksaan Laboratorium

2.1.6.1.1 Kultur Sputum : Positif untuk Mycobacterium tuberculosis pada tahap aktif penyakit

2.1.6.1.2 Ziehl-Neelsen (pemakaian asam cepat pada gelas kaca untuk usapan cairan darah) : Positif untuk basil asam-cepat.

2.1.6.1.3 Tes kulit (Mantoux, potongan Vollmer) : Reaksi positif (area indurasi 10 mm atau lebih besar, terjadi 48-72 jam setelah injeksi intradcrmal antigen) menunjukkan infeksi masa lalu dan adanya antibodi tetapi tidak secara berarti menunjukkan penyakit aktif. Reaksi bermakna pada pasien yang secara klinik sakit berani bahwa TB aktif tidak dapat diturunkan atau infeksi disebabkan oleh mikobakterium yang berbeda.

2.1.6.1.4 Histologi atau kultur jaringan (termasuk pembersihan gaster; urine dan cairan serebrospinal, biopsi kulit) : Positif untuk Mycobacterium tuberculosis.

2.1.6.1.5 Biopsi jarum pada jaringan paru : Positif untuk granuloma TB; adanya sel raksasa menunjukkan nekrosis.

2.1.6.1.6 Elektrolit : Dapat tak normal tergantung pada lokasi dan beratnya infeksi; contoh hiponatremia disebabkan oleh tak normalnya retensi air dapat ditemukan pada TB paru kronis luas.

2.1.6.1.7 Pemeriksaan fungsi paru : Penurunan kapasitas vital, peningkatan rasio udara residu dan kapasitas paru total, dan penurunan saturasi oksigen sekunder terhadap infiltrasi parenkim/fibrosis, kehilangan jaringan paru dan penyakit pleural (Tuberkulosis paru kronis luas).

2.1.6.2 Pemeriksaan Radiologis

2.1.6.2.1 Foto thorak : Dapat menunjukkan infiltrasi lesi awal pada area paru atas, simpanan kalsium lesi sembuh primer, atau effusi cairan. Perubahan menunjukkan lebih luas TB dapat termasuk rongga, area fibrosa.

2.1.7 Penatalaksanaan Medis (DepKes RI, 2002 : 37)

2.1.7.1 Jenis dan Dosis Obat Anti Tuberkulosis (OAT)

2.1.7.1.1 Isoniazid (H)

Dikenal dengan INH, bersifat bakterisid, dapat membunuh 90 % populasi kuman dalam beberapa hari pertama pengobatan. Sangat efektif terhadap kuman dalam keadaan metabolik aktif yaitu kuman yang sedang berkembang. Dosis harian 5 mg/kg berat badan, sedangkan untuk pengobatan intermiten 3 kali seminggu diberikan dengan dosis 10 mg/kg berat badan.

2.1.7.1.2 Rifampisin (R)

Bersifat bakterisid, membunuh kuman semi dormant yang tidak dapat dibunuh oleh isoniasid. Dosis 10 mg/kg berat badan. Dosis sama untuk pengobatan harian maupun intermiten 3 kali seminggu.

2.1.7.1.3 Pirazinamid (Z)

Bersifat bakterisid, membunuh kuman yang berada dalam sel dengan suasana asam. Dosis harian 25 mg/kg berat badan, sedangkan untuk pengobatan intermiten 3 kali seminggu diberikan dengan dosis 35 mg/kg berat badan.

2.1.7.1.4 Streptomisin (S)

Bersifat bakterisid, dosis 15 mg/kg berat badan, sedangkan untuk pengobatan intermiten 3 kali seminggu digunakan dosis yang sama.

2.1.7.1.5 Etambutol (E)

Bersifat menghambat pertumbuhan bakteri (bakteriostatik). Dosis harian 15 mg/kg berat badan, sedangkan untuk intermiten 3 kali seminggu diberikan dengan 30 mg/kg berat badan.

2.1.7.2 Tahap Pengobatan

Pengobatan Tuberculosis diberikan dalam 2 tahap yaitu:

2.1.7.2.1 Tahap Intensif

Penderita mendapat obat setiap hari. Pengawasan berat/ketat untuk mencegah terjadinya kekebalan terhadap semua Obat Anti Tuberculosis (OAT).

2.1.7.2.2 Tahap Lanjutan

Penderita mendapat jenis obat lebih sedikit dalam jangka waktu yang lebih lama. Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persistem (dormant) sehingga mencegah terjadinya kekambuhan.

2.1.7.3 Kategori Pemberian Obat Anti Tuberculosis

2.1.7.3.1 Kategori 1 (211RZE/4113R3)

Tahap intensif terdiri dari isoniasid (H), Rifampisin (R), Pirazinamid (Z) dan Etambutol(E). Obat-obatan tersebut diberikan setiap hari selama 2 bulan (2 HRZE), kemudian teruskan dengan tahap lanjutan yang terdiri dari Isoniasid (H) dan Rifampisin (R), diberikan tiga kali dalam seminggu selama 4 bulan (4H3R3).

Obat ini diberikan untuk :

- Penderita baru TBC paru BTA positif

- Penderita TBC paru BTA negatif, rontgen positif.

- Penderita TBC ekstra paru berat.

2.1.7.3.2 Kategori 2 (2HRZES/HRZE/5H3RE3)

Tahap intensif diberikan selama 3 (tiga) bulan, yang terdiri dari 2 bulan dengan isoniasid (H), Rifampisn, Pirazinamid (Z), Etambutol (E) setiap hari. Setelah itu diteruskan dengan tahap lanjutan selama 5 bulan dengan Isoniasid (H),Rifampisin (R), Etambutol (E) yang diberikan 3 kali dalam seminggu.

Perlu diperhatikan bahwa suntikan streptomisin diberikan setelah penderita selesai menelan obat.

Obat ini diberikan untuk penderita kambuh, penderita gagal, penderita dengan pengobatan setelah lalai.

2.1.7.3.3 Kategori 3 (2HRZ/4H3R3)

Tahap intensif terdiri dari Isoniasid (H), Rifampisin (R), Pirazinamid (Z) diberikan setiap hari selama 2 bulan (2HRZ) diteruskan dengan tahap lanjutan terdiri dari Isoniasid (H), Rifampisin (R) selama 4 bulan diberikan 3 kali seminggu (4H3R3).

Obat ini diberikan untuk :

- Penderita baru BTA negatif dan roentgen positif sakit ringan

- Penderita ekstra paru ringan, yaitu TBC kelenjar limfe (limfadenitis), pleuritis aksudativa unilateral, TBC kulit, TBC tulang (kecuali tulang belakang) sendi dan kelenjar adrenal.

2.1.7.3.4 OAT Sisipan (HRZE)

Bila pada akhir tahap intensif pengobatan penderita baru BTA positif dengan kategori 1 atau penderita BTA positif pengobatan ulang dengan kategori 2, hasil pemeriksaan dahak masih BTA positif, diberikan obat sisipan Isoniasid (H), Rifampisin (R), Pirazinamid (Z), Etambutol (E) setiap hari selama 1 bulan.


2.2 Manajemen Keperawatan

2.2.1 Pengkajian

Pengkajian adalah pengumpulan data yang cermat tentang pasien, keluarga dan kelompok melalui wawancara, observasi, dan pemeriksaan (Carpenito, 1999:24)

Menurut Doengoes 1999, pada pengkajian pada pasien tuberculosis paru akan di temukan data-data sebagai berikut :

2.2.1.1 Aktivitas / istirahat

Gejala : Badan lemah, sesak nafas, Kesulitan tidur pada malam hari, demam dan menggigil, berkeringat pada malam hari.

Tanda : Takikardia, takipnea / dipsnea pada kerja kelelahan otot, nyeri dan sesak.

2.2.1.2 Integritas ego

Gejala : Adanya faktor stress, Masalah keuangan, Perasaan tak berdaya / tak ada harapan.

Tanda : Menyangkal, ansietas, ketakutan, dan mudah tersinggung.

2.2.1.3 Makanan / cairan

Tanda : Turgor kulit kering / kulit bersisik, dan kehilangan otot.

2.2.1.4 Nyeri / kenyaman

Gejala : Nyeri dada meningkat karena batuk berulang

Tanda : Berhati-hati pada area yang sakit.

Perilaku distraksi, gelisah

2.2.1.5 Pernapasan

Gejala : Batuk produktif atau tak produktif. Sesak nafas.

Tanda : Peningkatan frekuensi pernapasan (penyakit luas atau fobrosis parenkim paru dan pleura), Perkusi pekak dan penurunan fremitus (cairan pleural) atau penebalan pleural.

2.2.1.6 Keamanan

Gejala : Adanya kondisi penekanan imun, contoh AIDS, kanker. Tes HIV positif

Tanda : Demam rendah atau sakit panas akut.

2.2.1.7 Interaksi sosial

Gejala : Perasaan isolasi atau penolakan karena penyakit menular. Perubahan pola biasa dalam tanggung jawab/ perubahan kapasitas fisik untuk melaksanakan peran.

2.2.1.8 Penyuluhan atau pembelajaran

Gejala : Riwayat keluarga tuberculosis. Status kesehatan buruk. Gagal untuk membaik atau kambuhnya tuberculosis. Tidak berpartisipasi dalam terapi.

Rencana

Pemulangan : Memerlukan bantuan dengan / gangguan dalam terapi obat, dan bantuan perawatan diri, serta pemeliharaan atau perawatan rumah.

2.2.2 Diagnosa keperawatan

Diagnosa yang dapat muncul menurut (Doenges, 1999) :

2.2.2.1 Resiko tinggi penyebaran infeksi berhubungan dengan kerusakan jaringan atau infeksi.

2.2.2.2 Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan sekret yang kental atau berlebih.

2.2.2.3 Resiko tinggi terhadap kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan penurunan permukaan efektif paru.

2.2.2.4 Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia.

2.2.2.5 Kurang pengetahuan mengenai kondisi, aturan tindakan dan pencegahan berhubungan dengan kurang informasi.

2.2.3 Intervensi, Rasionalisasi dan Evaluasi

2.2.3.1 Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan kerusakan jaringan atau infeksi.

2.2.3.1.1 Intervensi dan rasionalisasi

1. Kaji patologi penyakit dan potensial penyebaran infeksi melalui droplet udara selama batuk, bersin, meludah, bicara, bicara, tertawa, menyanyi.

Rasional : Membantu pasien menyadari atau menerima perlunya mematuhi program pengobatan untuk mencegah pengaktifan berulang atau komplikasi.

2. Anjurkan pasien untuk batuk dan bersin dan mengeluarkan pada tisu dan hindari meludah.

Rasional: Perilaku yang diperlukan untuk mencegah penyebaran infeksi.

3. Kaji tindakan kontrol sementara, contoh masker atau isolasi pemapasan.

Rasional: Dapat menurunkan rasa, terisolasi pasien dan membuang stigma sosial berhubungan dengan penyakit menular.

4. Awasi suhu sesuai indikasi.

Rasional : Reaksi demam indikator adanya infeksi lanjut.

5. Tekankan pentingnya untuk tidak menghentikan terapi obat.

Rasional : Kombinasi agen anti infeksi digunakan 2/1 obat primer tambah I obat sekunder.

2.2.3.1.2 Evaluasi :

1. Mengidentifikasi intervensi untuk mencegah atau menurunkan resiko penyebaran infeksi.

2. Menunjukkan teknik atau melakukan perubahan pola hidup untuk meningkatkan Iingkungan yang aman.

2.2.3.2 Bersihkan jalan napas tak efektif berhubungan dengan sekret yang kental atau berlebihan.

2.2.3.2.1 Intervensi dan rasionalisasi

1. Kaji fungsi pernapasan, bunyi napas, kecepatan, irama dan kedalaman dan penggunaan otot aksesori.

Rasional : Penurunan bunyi napas dapat menunjukkan atelektasis.

2. Catat kemampuan untuk mengeluarkan dahak atau batuk efektif dan catat karakter, jumlah sputum, adanya hemoptisis.

Rasional : Pengeluaran sulit bila sekret kental, sputum berdarah kental atau cerah diakibatkan kerusakan (kavitasi) atau lulcaan bronchial.

3. Atur posisi semi atau fowler tinggi.

Rasional : Memaksimalkan ekspansi paru.

4. Ajarkan pasien untuk batuk efektif dan nafas dalam.

Rasional : Ventilasi maksimal membuka area atelektasis dan meningkatkan gerakan ke dalam jalan napas besar untuk dikeluarkan.

5. Bersihkan sekret dari mulut dan trakea, pengisapan sesuai keperluan

Rasional : Mencegah obstruksi atau aspirasi, pengisapan dapat diperlukan apabila pasien tidak mampu mengeluarkan sekret.

6. Pertahankan masukan cairan sedikitnya 2500 ml/hari kecuali kontra indikasi.

Rasional : Pemasukan tinggi cairan membantu untuk mengencerkan sekret dan mudah dikeluarkan.

7. Kolaborasi

Berikan obat-obatan sesuai indikasi.

2.2.3.2.2 Evaluasi

1. Mempertahankan jalan nafas pasien.

2. Mengeluarkan sekret tanpa bantuan.

3. Berpartisipasi dalam program pengobatan.

2.2.3.3 Resiko tinggi terhadap kerusakan pertukaran gas, berhubungan dengan penurunan permukaan efektif paru.

2.2.3.3.1 Intervensi dan rasionalisasi

1. Kaji dispnea, takipnea, tak normal atau menurunnya bunyi napas, peningkatan upaya pernapasan,terbatasnya ekspansi, dinding dada dan kelemahan.

Rasional: Tuberculosis paru menyebabkan efek luas pada paru dari bagian kecil bronco pneumonia sampai inflamasi difus, nekrosis, efusi pleural dan fibrosis luas.

2. Catat sianosis atau perubahan warna kulit, termasuk membran mukosa dan kuku.

Rasional : Akumulasi sekret atau pengaruh jalan napas dapat mengganggu oksigenasi organ vital dan jaringan.

3. Tingkatkan tirah baring atau batasi aktivitas dan bantu aktivitas perawatan diri sesuai keperluan.

Rasional : Menurunkan konsumsi oksigen atau kebutuhan selama periode penurunan pernapasan dapat menurunkan beratnya gejala.

4. Kolaborasi dalam pemberian oksigen tambahan yang sesuai.

Rasional : Alat dalam memperbaiki hipoksemia yang dapat terjadi sekunder terhadap penurunan ventilasi atau permukaan alveolar paru.

2.2.3.3.2 Evaluasi

1. Menunjukkan tak adanya atau mcngalami penurunan dispnea.

2. Menunjukkan perbaikan ventilasi dan oksigen jaringan adekuat.

3. Bebas dari gejala distress pernapasan.

2.2.3.4 Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia.

2.2.3.4.1 Intervensi dan rasionalisasi

1. Catat status nutrisi pasien pada penerimaan, catat turgor kulit, berat badan dan derajat kekurangan berat badan.

Rasional : Berguna dalam mendefinisikan derajat atau luasnya masalah dan pilihan intervensi yang tepat.

2. Awasi masukan atau pengeluaran dan berat badan secara periodik.

Rasional : Berguna dalam mengatur keefektifan nutrisi dan dukungan cairan.

3. Dorong dan berikan periode istirahat sering. Rasional : Membantu menghemat energi khususnya bila kebutuhan metabolik meningkat saat demam.

4. Dorong makan sedikit dan sering dengan makanan tinggi protein dan karbohidrat.

Rasional : Memaksimalkan masukan nutrisi tanpa kelemahan yang tidak perlu atau kebutuhan energi dari makan­-makanan banyak dan menurunkan iritasi gaster.

5. Kolaborasi ke ahli diet untuk menentukan komposisi diet.

Rasional : Memberikan bantuan dalam perencanaan diet dengan nutrisi adekuat untuk kebutuhan metabolik dan diet.

2.2.3.4.2 Evaluasi

1. Menunjukkan berat badan meningkat.

2. Meningkatkan atau mempertahankan berat badan yang ideal.

2.2.3.5 Kurang pengetahuan mengenai kondisi aturan tindakan dan pencegahan berhubungan dengan kurang informasi.

2.2.3.5.1 Intervensi dan rasionalisasi

1. Kaji kemampuan pasien untuk belajar, contoh tingkat takut, masalah, kelemahan, tingkat partisipasi, lingkungan terbaik dimana pasien dapat belajar, seberapa banyak isi, media terbaik, siapa yang terlibat.

Rasional : Belajar tergantung pada emosi dan kesiapan fisik dan ditingkatkan pada tahapan individu.

2. Tekankan pentingnya mempertahankan protein tinggi dan diet karbohidrat dan pemasukan cairan adekuat.

Rasional : Memenuhi kebutuhan metabolik mernbantu meminimalkan kelemahan dan meningkatkan penyembuhan.

3. Berikan instruksi dan informasi tertulis khusus pada pasien untuk rujukan contoh jadwal obat.

Rasional : Informasi tertulis menurunkan hambatan pasien untuk mengingat sejumlah besar informasi.

4. Jelaskan dosis obat, frekuensi pemberian, kerja yang diharapkan, dan alasan pengobatan lama.

Rasional : Meningkatkan kerja lama dalam program pengobatan dan mencegah penghentian obat sesuai perbaikan kondisi pasien.

5. Dorong pasien dan orang terdekat untuk menyatakan takut. Jawab pertanyaan secara nyata.

Rasional : Memberikan kesempatan untuk memperbaiki kesalahan konsepsi atau peningkatan ansietas.

2.2.3.5.2 Evaluasi

1. Menyatakan pemahaman proses penyakit atau prognosis dan kebutuhan pengobatan.

2. Melakukan pola hidup sehat untuk memperbaiki kesehatan umum.






DAFTAR PUSTAKA

Alsagaff, Hood. 2005. Dasar-dasar Ilmu Penyakit Paru. Airlangga University Press : Surabaya.

Brooker, Christine. 2001. Kamus Saku Keperawatan. EGC : Jakarta.

Crofton, John. 2002. Pedoman penanggulangan Tuberkulosis, Widya Medika : Jakarta.

Departeman Kesehatan. Republik Indonesia. 2002. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Jakarta.

Doenges, Marilyn E. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan, Edisi 3. EGC : Jakarta.

Medical Record RSUD dr. Doris Sylvanus Palangka Raya tahun 2007.

Profil Kesehatan Kalimantan Tengah 2006.

Smeltzer, Suzanne C. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah dari Brunner & Suddarth, Edisi 8. EGC : Jakarta.

Smeltzer, Suzanne C. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah dari Brunner & Suddarth, Edisi 8. EGC : Jakarta.

Somantri, Irman. 2008. Keperawatan Medical Bedah; Asuhan Keperawatan Pada Pasien dengan Gangguan Sistem Pernapasan. Salemba Medika : Jakarta


Diposting oleh Mas Shidiq Widiyanto
Visit the Site
MARVEL and SPIDER-MAN: TM & 2007 Marvel Characters, Inc. Motion Picture © 2007 Columbia Pictures Industries, Inc. All Rights Reserved. 2007 Sony Pictures Digital Inc. All rights reserved. blogger templates